Pikiran Rakyat; Kamis, 19 Agustus 2004
MENINGKATNYA jumlah penduduk dan taraf hidup masyarakat, memerlukan lebih banyak energi untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan energi sebenarnya tidak lain adalah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan dan mendistribusikan secara merata sarana-sarana pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Berbagai bentuk energi telah digunakan manusia seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang merupakan bahan bakar fosil. Selain itu, bahan bakar tradisional, yaitu kayu. Walaupun masih digunakan, penggunaan kayu bakar terbatas dengan berkurangnya hutan sebagai sumber kayu. Tapi, dengan meningkatnya jumlah penduduk, terutama yang tinggal di perdesaan, kebutuhan energi rumah tangga masih menjadi persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Permasalahan kebutuhan energi perdesaan dapat diatasi dengan menggunakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, murah, dan mudah diperoleh dari lingkungan sekitar dan bersifat dapat diperbaharui. Salah satu energi ramah lingkungan adalah gas bio yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik akibat aktivitas bakteri anaerob pada lingkungan tanpa oksigen bebas. Energi gas bio didominasi gas metan (60% - 70%), karbondioksida (40% - 30%) dan beberapa gas lain dalam jumlah lebih kecil. Secara prinsip pembuatan gas bio sangat sederhana, yaitu memasukkan substrat (kotoran sapi) ke dalam unit pencerna (digester) yang anaerob. Dalam waktu tertentu gas bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya untuk kompor gas. Tulisan pendek ini merupakan hasil ”Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penerapan Teknologi XVII 2004”. Kotoran sapi
Sapi perah merupakan hewan yang umum dipelihara sebagai salah satu sumber mata pencaharian di Jawa Barat, antara lain di Kec. Cisurupan, Kab. Garut. Menurut data populasi KUD Mandiri Cisurupan tahun 2003, jumlah sapi perah mencapai 5.835 ekor yang melibatkan 1.450 peternak. Potensi kotoran sapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan gas bio sebenarnya cukup besar, namun belum banyak dimanfaatkan. Bahkan selama ini telah menimbulkan masalah pencemaran dan kesehatan lingkungan. Umumnya para peternak membuang kotoran sapi tersebut ke sungai. Produksi kotoran sapi dari Kecamatan Cisurupan apabila diakumulasi dapat mencapai sekira 127.556 kg/hari, dan apabila dimanfaatkan menjadi gas bio dapat diperoleh produksi gas 1.719 - 5.670 m3/hari atau sebanding dengan 1.031 - 3.420 liter minyak tanah. Bila diasumsikan harga 1 liter minyak tanah adalah Rp 1.000,00, maka dapat menghemat pembelian minyak tanah sebesar Rp 1.031.000,00 - Rp 3.420.000,00/hari. Jumlah "subsidi" alam yang cukup besar dalam kaitannya dengan upaya self-sufficiency energi perdesaan. Namun demikian, potensi energi yang besar dan bersifat ramah lingkungan ini belum banyak dimanfaatkan. Penggunaan biodigester dapat membantu pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran hewan untuk memproduksi gas bio dan diperoleh hasil samping berupa pupuk organik dengan mutu yang baik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas metan (CH4) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sektor pertanian dan peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan terdekomposisi secara terbuka melainkan difermentasi menjadi energi gas bio. Gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan gas karbon dioksida (CO2) memberikan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan gas metan secara lokal ini dapat berperan positif dalam upaya penyelesaian permasalahan global (efek rumah kaca), sehingga upaya ini dapat diusulkan sebagai bagian dari program internasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Beberapa desain digester yang telah dikenal dan umum digunakan adalah jenis fixed dome dan floating drum. Tapi, mekanisme operasional kedua unit biodogester ini termasuk mahal dan proses pembuatan dan operasionalnya membutuhkan tenaga ahli, karena memiliki konstruksi yang rumit. Sementara suku cadangnya tidak selalu tersedia di perdesaan, sehingga kurang tepat untuk daerah perdesaan yang masih terbatas SDM dan peralatannya. Selain itu, rata-rata penduduk perdesaan hanya memiliki beberapa ekor sapi (3 - 5 ekor), sehingga diperlukan tipe digester alternatif yang lebih sederhana dan mudah pengoperasiannya. Plastik polyethilene Mempertimbangkan keterbatasan teknik dan pendanaan yang dihadapi kebanyakan petani/peternak di perdesaan, maka diperlukan alternatif digester yang secara teknis dan pendanaan feasible. Salah satu alternatif biodigester yang sesuai dengan kondisi perdesaan adalah biodogester yang terbuat dari bahan plastik polyethilene. Plastik polyethilene telah umum digunakan di bidang pertanian, sehingga bagi kebanyakan petani bukan barang baru. Mereka juga telah memanfaatkannya untuk pembungkus bibit tanaman, pelindung buah, dan tempat pengering hasil panen. Biodigester polyethilene ini didesain untuk kapasitas limbah kotoran 3-5 ekor sapi perah dan dibuat dengan sistem berkelanjutan. Kotoran sapi dimasukkan ke biodigester tiap hari sesuai dengan produksinya. Kotoran sapi sebelum dimasukkan ke biodogester dicampur air dengan perbandingan 1:1 untuk mendapatkan campuran yang homogen dan kadar air antara 80%-90%. Sedangkan bak pencampur terbuat dari bata merah, campuran semen dan pasir dengan kapasitas 250 liter. Alat ini digunakan untuk dua kali pengisian kotoran sapi setiap hari. Proses pembangkitan energi gas bio dengan menggunakan alat ini memerlukan waktu sekira 20 hari. Setelah melalui proses ini, pemanfaatan gas bio dapat dilakukan secara berkelanjutan tergantung pada pasokan kotoran sapi sebagai bahan pembangkit gas bio. Proses pembangkitan gas bio yang dilakukan dengan cara memasukkan kotoran sapi ke dalam bak penampung, dicampur dengan air, diaduk, dan berproses, sehingga menghasilkan gas bio untuk dimanfaatkan. Bak penampung didesain sedemikian rupa untuk memudahkan dalam pemanfaatannya, misalnya untuk kompor gas. Pipa penyalur gas bio dari biodigester ke bak penampung dibuat dari pipa PVC. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu set biodigester polyethilene adalah sekira Rp 700.000,00 termasuk bahan dan biaya tenaga kerja. Lama waktu pemanfaatan gas bio bergantung pada spesifikasi penyimpan gas dalam plastik polyethilene. Untuk pemanfaatan tungku pemasak selama 4-5 jam memerlukan alat biodogester dengan kapasitas penyimpan gas 2,5 m3. Uraian singkat di atas menunjukkan, dibandingkan biodigester tipe fixed dome maupun floating drum, biodigester plastik polyethilene secara teknis dan pendanaan lebih sesuai dengan kondisi kebanyakan petani di perdesaan. Produksi gas bio yang dihasilkan dari bahan kotoran sapi mencapai 1,4 m3/hari atau setara dengan 0,8 liter minyak tanah per hari, apabila menggunakan biodigester dengan kapasitas 8,8 m3. Hasil penelitian menunjukkan,untuk memasak 1,5 kg nasi diperlukan 500 liter gas bio dengan lama waktu pemasakan sekira 1 jam.
Keuntungan lain yang diperoleh adalah lumpur hasil proses pembangkitan biogas yang dapat digunakan sebagai pupuk. Pupuk organik yang dihasilkan mencapai 16 ton/tahun dengan kadar air 50%. Keuntungan sampingan dalam bentuk uang setelah dikurangi dengan biaya produksi pupuk, dapat menambah pendapatan sebesar Rp. 1,6 juta/tahun. Dengan demikian, selain memberi jalan keluar terhadap masalah yang dihadapi kebanyakan petani dalam memenuhi kebutuhan energinya, pemanfaatan teknologi digester gas bio berbahan baku kotoran sapi juga menguntungkan. Selain dapat menghemat pemakaian bahan bakar minyak dan mengurangi potensi kerusakan hutan untuk kayu bakar, mengurangi pencemaran lingkungan, dapat menghasilkan pupuk organik, dan memberi solusi terhadap persoalan dunia pemanasan global. Silakan mencoba. Kharistya Amaru, Michael Abimayu, Dian Yunita Sari, dan Indah Kamelia, Mahasiswa Teknologi Pertanian, Faperta Unpad.
Read more!
|